Samin, Pendeta Hindu di Candi Dewi Dhurgamaa Tangerang
Kuil berdiri tahun 1986, mulai dibangun tahun 1994, Ada seorang lelaki yang bernama Samin mampu membangun sebuah candi megah disebuah Kawasan kumuh. Boleh jadi, ini Cuma sebuah cerita belaka. Dibanyak kepala, cerita ini lebih bisa mengundang nada tanya tentunya. Tapi, kali ini niscaya bukan sekedar sebuah cerita. Sebuah fakta terlanjur sudah mengesahkan kebenaran cerita itu.
Latar Belakang
Bahwa Samin seorang lelaki yang lahir di kota medan dan sekarang menjalani hidup sebagai seorang pendeta hindu memang telah membangun sebuah candi megah. Persisnya diatas sebidang tanah seluas lebih kurang satu hectare. Uniknya Candi bernama Dewi Durghamaa itu justru berdiri mentereng diatas sebuah lahan yang dikelilingi permukiman penduduk kumuh didaerah Tangerang, Provinsi Banten.
Disebut candi tersebut berdiri diatas lahan permukiman kumuh memang iya. Bahkan kawasannya ditinggali para penduduk yang sebagian besar orang tua. Gubuk gubuk tampak menghiasi secara berjejer di nyaris sepanjang jalan tikus menuju lokasi candi berada. Jalan ini dikasih nama gang Bidong. Salah satu Lorong yang membelah jalan karawaci di pusat kota Tangerang.
Namanya terucap secara amat ringkas. Cuma dengan satu kata, Samin. Hanya belakangan ini saja ada tambahan kata “Pendeta” di depan nama itu. Ia memang kini menyandang predikat sebagai seorang pendeta di candi hindu tersebut. Hanya saja ada yang nyaris tak masuk akal dari situ. Sebab, figure seorang pendeta ini niscaya begitu suka dipisahkan dengan bacaan ayat-ayat suci agama hindu. Tapi, anehnya justru Pendeta samin tak akrab dengan bacaan ayat-ayat tuhan tadi. “Saya tak bisa membaca dan menulis lantaran sekolah saya tidak tamat SD”, akunya seraya menegaskan ia mampu menguasai tata cara peribadatan candi tersebut, termasuk mendalami makna hakiki hidup beragama, justru lewat proses komunikasi intensif dengan Dewi Durghamaa. Ia menyebut Dewi Durghamaa sebagai Ibu Mata Dunia.
Cerita punya cerita, Pendeta Samin sesungguhnya memiliki masa lalu yang dia sendiri mengangapnya kelam. Namun Nasib kemudian menggiringnya untuk mesti berubah memilih jalan hidup. Suatu ketika ia sendiri merasa kehidupannya harus disisihkan dari rutinitas keseharian. Segala penderitaan kelewat berat ia rasakan dari situ. Lalu suatu saat ia coba mendatangi sebuah kuil kecil di sebuah sudut kota medan. Dewi Durga yang ia tahu nama kuil itu. Ditempat ibadah ini rupanya ia berjumpa dengan seorang wanita sepuh, yang lantas ia sapa sebagai Nenek Lesmi.
Menurut pendeta berusia 57 tahun ini, Nenek Lesmi amat berjasa. Setidaknya bagi dia sendiri, nenek tadi dianggap berjasa menularkan segudang nilai ajaran budi pekerti. Wanita yang sudah almarhum tahun 1983 silam tersebut dinilainya pula sebagai wanita berhati mulia. Tanggapanya senantiasa ringan menyuntik bantuan materi buat siapapun. Bahkan, bagi seorang penjahat sekalipun.
Tapi semua nilai ajaran tersebut bisa terserap digjaya dalam batinnya sesudah ia mendapat semacam “Jalan Terang”. Namun, sebuah jalan terang yang didapatnya lewat sebuah olah batin yang ia eja sebagai berpuasa sesuai anjuran keyakinannya.
Ke Ibukota
Sesudah sang nenek pergi untuk selamanya di tahun 1983, Samin berkisah, ia sempat kelimpungan. Tapi toh ia tak hendak pasrah dengan keadaan. Pilihan merantau keluar sumatera dijelajahinya. Sampai suatu saat ibukota negara ini dijejakinya. Tepatnya tahun 1985.
Dikota Metropolitan, Samin mau tak mau harus memeras keringat. Ia bekerja disebuah tempat usaha bisnis seorang teman. Tapi, bekerja disitu lama kelamaan tak bisa memaksa dirinya berbetah-betahan. Apalagi, nyaris di tengah kesibukan ini ternyata ia pun ditimpa permohonan bantuan begitu banyak orang. Mereka meminta Samin memanjatkan doa kepada Dewi Durga agar apa yang di inginkan bisa terkabul. Dan, praktisnya memang cenderung meniscayakan betapa keinginan orang orang yang dihaturkan lewat doa Pendeta Samin kerap dikabulkan Dewi Durga.
Tak lama berselang, pilihan tempat melayani doa umat tersebut ia putar haluan. Bilangan kemayoran di wilayah Jakarta pusat yang semula menjadi tempat pemanjatan doa dialihkan ke daerah Tangerang, kurang lebih 30 km sebelah barat kota Jakarta. Samin memilih hijrah ke daerah ini agar lebih bisa melayani permohonan orang orang yang membutuhkan perantarannya secara lebih syahdu. Juga, ini sesuai dengan misi dasar pelayanan religious-spiritualnya.
Sebidang tanah yang mulanya tak kelewat luas dikontraknya di daerah Tangerang. Tepatnya, disebuah Kawasan permukiman penduduk yang kumuh. Ini senapas dengan pesan Dewi Durga yang seakan terlajur sudah dibisiki padanya. Dewi Durga konon berpesan agar ia melayani bantuan permohonan pemanjatan doa bagi siapa saja. “Terutama, bagi mereka yang hidup dalam derita kemiskinan dan ketertindasan”, cetusnya.
Sepanjang menjalani tugas pelayanan religiusnya buat mereka yang memerlukan, Pendeta Samin mengisahkan ada sederet cuatan cerita factual yang menggelitik. Konon nyaris semua permintaan doa orang orang yang datang padanya dikabulkan Dewi Durga. Ada beberapa syahdan datang jauh jauh dari negeri Kuala Lumpur, Singapura, bahkan India. Mereka ini sudah bertahun tahun menikah tapi belum pula dikarunia momongan. Lantas, mereka mencoba minta dilayani Pendeta Samin melalui panjatan doanya pada Dewi Durga.
Ternyata semuanya tak ada yang mengeluh gagal memperoleh pengabulan doanya. Dewi Durga meluluskan permintaan mereka. Sekalipun ada yang sudah berumah tangga selama sepuluh tahun tapi toh akhirnya bisa juga memiliki keturunan setelah doa mereka dikabulkan Dewi Durga. Bahkan, mereka yang datang tak mesti beragama hindu. Agama lain pun banyak yang doa mereka dipenuhi. Mereka berdoa dengan tata cara peribadatannya sendiri. “Saya tak memaksakan mereka harus mengikuti ritual yang ada di candi ini”, tegas Pendeta Samin.
Membangun Candi
Cerita yang kalah mengesankan ada pula di balik perjalanan religious dan spiritual Pendeta Samin. Selain melayani permohonan doa, Ia di candi-nya juga memikul misi pelayanan social. Bahkan, misi ini kongkretisasinya sudah tak terbantahkan.
“Bantuan materi berupa beras, pinjaman uang tanpa Bunga untuk modal usaha, biaya rumah sakit atau beasiswa anak sekolah. Semuanya ini diberikan pada mereka yang tak mampu. Dan yang penting bantuan ini tak mengenal perbedaan agama, suku, ras maupun golongan. Semuanya kebagian sepanjang memang tak mampu dan butuh uluran tangan kami”, ungkap Pendeta Samin.
“Berbagai bantuan uang yang datang secara tiba tiba, entah dari siapa, yang jelas mereka yang menjadi sumber kucuran bantuan itu enggan menyebutkan identitasnya. Yang pasti, mereka menolong dengan tulus ikhlas. Padahal kami tak pernah pula mengumumkan atau meminta bantuan dana dari mana pun juga. Semuanya mengalir kesini dengan sendirinya”, tutur Pendeta Samin mengenai sumber dana yang konon mengalir nyaris tanpa pernah dibayangkan lebih dulu. Dengan kata lain, bantuan itu mengalir begitu saja tanpa pernah diatur atur.
Bantuan uang dan material bangunan candi pun setali tiga uang. Tak pernah mereka edarkan permohonan bantuan ke pihak manapun. Yang jelas, ada saja orang-orang yang mengirimkannya, atau malah datang mengantarkannya sendiri. Tapi, itu tadi, mereka enggan bila jati dirinya diungkap.
Yang jelas, kini pembangunan candi megah yang kaya motif dan ornament cantic dan artistic tersebut tengah dalam proses finishing. Samin yang didampingi arsitek bangunan candinya, Ir.Nilisfren, mengakui biaya pembangunannya sendiri sudah bisa terbilang memakan antara Rp.2-3 Milyar.
Selain itu, ada pula yang terbilang aneh. Rancangan bangunan bukan dianggap sebagai karya mereka sendiri. “Itu merupakan ilham yang datang pada kami dan diberikan oleh Dewi Durga. Saya sendiri tak yakin ini merupakan karya kami. Tapi merupakan perintah Dewi Durga yang masuk dalam benak arsiteknya” tutur Samin yang diamini pula oleh Nilisfren.
Sementara arsitek lulusan medan ini pun mengakui, sesudah rancangan bangunan ini selesai dikerjakan, ia sendiri nyaris tak percaya bangunan candi tersebut sebagai karya tangannya. “Bahkan rekan saya yang juga seorang arsitek tak percaya ini sebagai karya arsitektural saya”, tutur pemborong bangunan yang mengaku pernah bekerja di perusahaan tekstil Texmaco milik Marimutu Sinivasan itu.
Menurut Pendeta Samin, bagian bangunan candi yang belum selesai saat ini adalah pemasangan patung. Entah berapa jumlah patung yang hendak dipasang, yang pasti sampai saat ini saja sudah berjumlah 175 patung terpasang di candi yang dibangunannya. “Tapi, Patung-patung tersebut semuanya berwujud Dewi. Tak ada patung Dewa-nya. Ini sebagai wujud berganti-ganti wujudnya Dewi Durga yang disebut sebagai awatara”, Kata Samin.
Yang jelas, ditambahkan oleh Nilisfren, apa yang dikerjakan merupakan sebuah momentum bersejarah. Setidak-tidaknya, kata Nilisfren, ini merupakan candi pertama yang dibangun di negeri ini setelah berabad-abad silam orang membangun candi-candi bersejarah seperti Borobudur, Prambanan, dan lain sebagainya.